Saturday, December 22, 2012

Jerman, Pioneer Manajemen Limbah

Di beberapa negara maju problematika sampah selalu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sangat mengagumkan melihat Jepang secara cerdas mengolah sampah untuk reklamasi pantai, dimana kawasan Odaiba akhirnya menjadi kawasan termahal di dunia dan sold out.

Sementara itu di Eropa, Jerman menjadi pioner dalam hal daur ulang limbah. Kementrian Lingkungan Hidup Jerman menerapkan 3 kebijakan pengelolaan limbah dengan kontrol yang sangat ketat yaitu :
  1. Avoidance : menghindari limbah, proses produksi dan pengemasan harus sesuai prinsip nol limbah.
  2. Recovery : pemulihan, hasil limbah harus bisa didaur ulang dan diubah menjadi bahan baku bernilai dan energi.
  3. Disposal : pembuangan, hasil limbah yang dibuang harus ramah lingkungan.
Setiap tahun sebanyak 70% limbah di Jerman dapat diolah dan dimanfaatkan kembali, sebagai perbandingan Th 2007 di Amerika limbah yang dapat diolah dan dimanfaatkan baru 33%. Sejak bersatu, pemerintah Jerman sangat serius mengelola limbah. Melalui pendekatan baru pemerintah menggeser tanggung jawab pengelolaan limbah kepada produsen, industri disana wajib bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkan sejak proses produksi dimulai hingga berakhirnya manfaat produk tersebut. Pendekatan ini dinamakan Germany’s Packaging Ordinance, mulai berlaku Th. 1991, kemasan yang memasuki pasar Jerman harus memenuhi syarat :
1). Ramah lingkungan
2). Bobot dan volume kemasan seminimal mungkin
3). Bisa diisi ulang
4). Bisa didaur ulang jika tidak bisa diisi ulang

Filosofi yang mendasari Ordonansi Kemasan ini adalah ”Polluter Pays”, ya, pencemar membayar, artinya siapapun yang menghasilkan limbah akan dituntut bertanggung jawab mendaur ulang, mencari pasar untuk bahan hasil daur ulang dan memikirkan pembuangannya. Dengan demikian produsen diminta membuat konsep disain awal produk untuk menekan kemasan produk yang boros. Strategi sederhana ini berdampak munculnya Duales System Deutschland (DSD) yaitu produsen diijinkan mengambil kembali kemasan produk mereka. Para DSD ini adalah perusahaan swasta yang wajib menyampaikan Laporan Kinerja Tahunan berupa data kemasan produk yang benar-benar dikumpulkan, dipilah kemudian didaur ulang kepada Kementrian Lingkungan Hidup.

Beberapa perusahaan pengumpul kemasan ini kemudian membentuk ”der Grune Punkt” (The Green Dot).
Di Jerman, jika perusahaan tidak tergabung dalam der Grune Punkt mereka harus mengumpulkan kemasan dan mendaur ulang sendiri, hal ini sangat tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan dengan produk masal. Sejak konsep ini diperkenalkan di Eropa beberapa negara kemudian turut bergabung dan memakai logo der Grune Punkt pada kemasan mereka. Kini der Grune Punkt menjadi pelopor dalam pengumpulan produk dan proses daur ulang di Eropa, logo tersebut menjadi logo resmi jaringan industri di Eropa yang mendaur ulang kemasan produk untuk konsumen. Bahkan model daur ulang ala Jerman ini telah sukses diterapkan di beberapa negara anggota Uni Eropa maupun non Uni Eropa.

Konsep Germany’s Packaging Ordinance dan der Grune Punkt Duales System Deutschland yang reliable telah memberi dampak luas bagi masyarakat Uni Eropa serta berhasil mempengaruhi perusahaan di seluruh dunia yang memproduksi barang tahan lama seperti komputer dan mobil supaya memikirkan disain dan mengevaluasi kembali penggunaan bahannya. Di Jepang, sebuah perusahaan pembuat bir berhasil mengembangkan teknologi produksi botol kaca berwarna yang dapat didaur ulang menjadi botol transparan.

Th. 1994 pemerintah Jerman menutup semua TPA di seluruh pelosok, alasannya disamping penuh juga tidak sesuai dengan peraturan lingkungan hidup yang baru. Jerman tidak malu mengakui pemerintahnya mengalami krisis kemampuan membuang limbah. Kepadatan penduduk Jerman menyebabkan pemerintah sulit menemukan lokasi TPA yang jauh dari pusat pemukiman penduduk, hal ini melatarbelakangi mengapa pembangunan TPA sangat ditentang. Th. 2020 pemerintah mentargetkan Jerman bersih dari limbah perkotaan dengan cara meminimalisir penggunaan emisi gas CO2.
Jerman pantang mengekspor limbah elektronik, setiap tahun berton-ton hasil daur ulang berupa tembaga dan platina diekspor keluar Jerman. Pemerintah mengontrol ketat proses ekspor ini,  eksportirpun dikenakan biaya untuk proses pembuktian bahwa barang tersebut bukan limbah.

Di negara kita kegagalan mengolah sampah sampai saat ini masih sulit dicarikan solusi. Ketersediaan lokasi TPA hanya berfungsi sebagai tempat menimbun sampah -tidak berkelanjutan- belum lagi dampak yang dihasilkan berupa pencemaran lingkungan: pembusukan sampah organik, pencemaran tanah, kerusakan infrastruktur karena akses jalan dilalui kendaraan kelas berat, dll. Tidak perlu bermimpi seperti Jepang yang sukses mereklamasi pantai dengan limbah, cukup belajar dari Jerman, menggeser tanggungjawab mengelola limbah, mengontrol ketat pengelolaan limbah dan meminta kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, syukur-syukur jika sampah dipilah dulu sebelum dibuang.


1 comment:

  1. terima kasih artikelnya bu, sungguh menginspirasi. mohon ijin menyuplik sebagian informasi untuk kepentingan studi, dengan mencantumkan link blog ini sebagai sumber, terima kasih..

    ReplyDelete