Thursday, January 3, 2013

Kehangatan itu hadir di Duesseldorf...


Duesseldorf memang kurang begitu populer di kalangan wisatawan Indonesia, kalah pamor dibanding Cologne, Frankfurt, Munich apalagi Berlin. Tapi tidak bagi mereka yang sering bepergian ke Jerman atau bagi mahasiswa yang sedang menuntut ilmu disana. Mereka tahu, Duesseldorf menawarkan sentuhan lain, kota tua (Altstadt), shopping, chic fashion, gaya hidup, wisata kuliner dan wisata sungai, adalah bagian tak terpisahkan dari kota ini dan semua itu dapat dinikmati dalam satu area.
Ibukota negara bagian Nordrhein Westfalen (NRW) yg terletak di tepi Sungai Rhein ini mudah dijangkau dari berbagai penjuru, baik darat, laut maupun udara. Bandara Internasional Duesseldorf adalah terbesar ketiga setelah Frankfurt dan Munich. Dengan posisi seperti itu, tidak heran jika kota yang lebih dari 700 th lalu hanyalah sebuah desa dan pernah luluh lantak oleh Perang Dunia II, kini menjelma menjadi pusat perdagangan internasional dan salah satu pusat finansial Jerman.

Dahulu kala Duesseldorf hanyalah wilayah dibawah kekuasaan bangsawan Graf Adolf V von Berg yang dihuni oleh warga desa di pinggir sungai kecil yang bernama Duessel, Dorf sendiri dalam Bahasa Jerman berarti desa. Warga Desa Duessel bagai mendapat durian runtuh ketika tgl 14 Agustus 1288 Graf Adolf v Berg memutuskan memberikan hak istimewa bagi desa tersebut menjadi sebuah kota dengan luas 3,8 hektar. Saat itu jangankan Balai kota, dinding batas kota saja mereka tidak punya. Selanjutnya dibawah kepemimpinan Johann Wilhelm (1679-1716) atau lebih di kenal dengan nama Jan Wellem, perkembangan perkotaan di bidang ekonomi dan budaya maju pesat. Sebagai bentuk penghargaan terhadap orang yg dianggap sangat berjasa, nama Graf Adolf dan Jan Wellem kemudian diabadikan sebagai nama jalan dan area di kota Duesseldorf.

Heinrich Heine Alle adalah pintu gerbang menuju Altstadt (Alt:tua,Stadt:kota), memasuki kawasan ini kaki akan berpijak pada deretan pavingstone yg tersusun rapi dan tentu saja hanya boleh dilalui oleh pejalan kaki. Bagaimana dengan pengunjung yang membawa kendaraan? Jangan kuatir pemkot Duesseldorf telah menyediakan lahan parkir di bawah kota tua ini. Berbeda dengan kota-kota tua di Jerman atau bahkan negara-negara Eropa lainnya yang biasanya dipenuhi butik dan galeri, Altstadt Duesseldorf menawarkan pemandangan lain, selain toko-toko yg menawarkan merk-merk trendi, kawasan ini dipenuhi oleh deretan bar, kafe dan restoran yang begitu menggoda siapa saja yg melaluinya, menggoda perut yang tidak lapar menjadi terasa lapar. Bagaimana tidak, semua jenis makanan dari berbagai bangsa tersedia, selain makanan dari sekitar Eropa yang sudah biasa, makanan dari Timur Tengah hingga Korea tersedia komplit, seafood, steak, mie, kebab, semua ada. Jangan mencari restoran Indonesia, tidak akan ada, tapi kalau mencari citarasa Indonesia bisa ke warung Vietnam, warung Vietnam di Altstadt highly recommended karena disamping harganya tidak terlalu mahal hampir semua menunya akrab di lidah Indonesia, hanya cara penyajiannya saja yang berbeda, pemiliknya pun ramah apalagi jika tahu pengunjungnya dari Indonesia. Yang menarik, hampir semua toko, restoran, bar di kawasan ini menempati bangunan tua yang masih terawat dengan baik, tentu saja, namanya saja Kota Tua.
Di ujung kawasan kota tua terdapat Balai Kota Duesseldorf atau dalam Bahasa Jerman disebut Rathaus, di depannya berdiri tegak patung berkuda Jan Wellem yang terbuat dari perunggu. Patung ini dibuat Th. 1711 oleh Gabriel des Grupello atas perintah Jan Wellem sendiri. Agak narsis memang, tapi terbukti patung ini belakangan justru menjadi salah satu ikon kota Duesseldorf. Saat musim panas tiba gedung Rathaus akan berhiaskan warna-warni bunga yg sangat indah.

Meninggalkan Altstadt, kawasan Burgplatz (plazt=place) telah menunggu, pada abad 14 pernah berdiri Istana disini, tetapi kebakaran hebat yang melanda Istana tersebut th 1872 membuat kini hanya tersisa Schlossturm (Turm=tower) yang sekarang berfungsi sebagai museum kapal. Di belakang tower terdapat anak tangga menuju tempat seru untuk nongkrong di tepi sungai Rhein, selama musim panas beberapa kali film layar tancap diputar disini. 

Menghabiskan senja sambil duduk dan menikmati pemandangan matahari tenggelam di tepi Sungai Rhein adalah alasan favorit sebagian besar pengunjung. Sungai Rhein adalah sungai terpanjang di Jerman, Duesseldorf hanya salah satu dari sekian banyak kota di Jerman yang dilaluinya. Sepanjang jalan di tepi sungai Rhein atau lebih dikenal dengan Rheinuferpromenade (River Rhine Promenade) adalah tempat yang menawarkan kenikmatan jiwa raga. Lagi-lagi di sepanjang kawasan dipenuhi berbagai cafe dan restoran (dengan menu cenderung ke Mediterania), semua kursi dan meja untuk pengunjung diletakkan di luar, pengunjung bisa makan dan minum sambil melihat anak-anak bermain inline skating, ABG tebar pesona, atau kapal wisata dan kapal pengangkut barang yang melintas di Sungai Rhein, sesekali melintas orang bermain kano.

Mengutip buku tentang Duesseldorf, terdapat kira-kira 200 bar dan restoran yang berderet dan bertebaran di sepanjang Heinrich Heine Alle hingga Rheinuferpromenade. Angka yang cukup fantastis, tak heran jika dijuluki sebagai “the longest bar of the world”

Tidak jauh dari Altstadt terdapat Koenigsallee (King’s Avenue) yaitu Boulevard sepanjang 1 km yang dibelah sungai kecil sebagai bentuk pemisahan tegas antara deretan butik terkenal, kafe & restoran mewah, galeri seni dengan deretan perkantoran eksklusif yg telah direnovasi sedemikian rupa hingga masih menyisakan keelokan bangunan masa lalu. Aigner, Gucci, Giorgio Armani, Chanel, Calvin Klein, Max Mara, Zara, Louis Vuitton adalah sebagian dari banyaknya butik dan galeri mewah yg menempati kawasan dimana tidak bakal ditemukan secuilpun sampah tercecer di jalan. Kesan bersih, eksklusif dan elegan membuat pemilik butik tak segan-segan menggelar Fashion on the Street saat musim panas. Sebagai kiblat mode bagi Jerman, Claudia Schiffer & Heidi Klum meniti karir di kota ini, sebelum menjadi super model dunia mereka berdua pernah merasakan berlenggak-lenggok diatas Boulevard Koenigsalle. Berbeda dengan Altstadt yang lebih merakyat, pengunjung, baik tua-muda di Koenigsallee terasa lebih berkelas, mereka wangi, trendi dan tentu saja sangat modis. ”Duesseldorf adalah Paris Mini” demikian komentar seorang teman ketika mengunjunginya. Ya, disamping Paris Mini, Duesseldorf adalah kota yang ramah. Asal pandai membawa diri, penduduk asli kota ini pasti menyambut hangat warga pendatang, seperti yang pernah saya alami.

Selain Altstadt & Koenigsallee masih ada Medienhafen dan Schloss Benrath yang menarik untuk dikunjungi. Bagi seorang Arsitek, Medienhafen (Hafen=harbour) menawarkan arsitektur bangunan perkantoran unik, asimetris dan lucu. Medienhafen yang terletak di tepi Sungai Rhein seolah diciptakan supaya pengunjung tidak melulu menikmati pemandangan ciptaan Tuhan tapi sekaligus hasil karya manusia. 



Sementara Schloss Benrath (Schloss=Castle) terletak agak di luar kota, dibangun th 1755, arsitekturnya bergaya barok dan berwarna pink, tampak depan tidak begitu menarik kecuali danau luas di depan istana dengan bebek-bebek yang berenang didalamnya. Keindahan kompleks ini justru terletak di taman belakang, dengan total luas 610.000m2, taman ini tampak hijau dan berwarna-warni, konser musik secara rutin digelar di halaman belakang oleh yayasan yang mengelolanya, untuk menontonnya tidak dipungut biaya, tidak disediakan kursi, penonton bebas duduk sambil ngemil atau tiduran di rumput.

Salah satu agenda tahunan yang rutin diselenggarakan di Duesseldorf adalah Japan Tag (Tag=day). Tidak ada kota di Jerman yang jumlah warga Jepang-nya melebihi warga Jepang yg tinggal di Duesseldorf, komunitas Jepang disini adalah terbesar ketiga di Eropa setelah London dan Paris. Sejak th 1950 kota ini telah membuka pintu bagi beberapa perush Jepang, berarti sudah 6 dekade Duesseldorf-Jepang menjalin kerjasama. Dari sekitar 5000 perush asing yg berbasis di Duesseldorf, 450 diantaranya milik Jepang, al: Bank of Tokyo, Mitsubishi dan Nippon Steel Corp. Sebagai bentuk penghargaan terhadap warga Jepang, sejak th 2002 diselenggarakan Japan Tag. Origami, ikebana, kaligrafi, samurai, judo, karate, adalah beberapa dari sekian banyak atraksi khas Jepang yang digelar di Rheinuferpromenade. Maka setiap tahun selama satu hari di penghujung bulan Mei, Duesseldorf bak bertransformasi menjadi kota di Jepang karena seluruh komunitas Jepang di Eropa tumplek blek jadi satu. Sebagai penutup Japan Tag, malam hari tepat pukul 00 langit Dyuserru – demikian lidah Jepang menyebut kota ini- akan dihiasi warna-warni kembang api...hmm, beberapa tahun lalu saya masih bisa menikmati indahnya atraksi ini dari jendela apartemen...

No comments:

Post a Comment