Membentang sejauh 1.232 km membelah Eropa Barat, Sungai Rhein
mengawali alirannya dari Pegunungan Alpen di Swiss kemudian melewati
Liechtenstein, Austria, Jerman, Perancis, Luksemburg, Belgia dan
berakhir di Rotterdam-Belanda. Hampir separuh dari sungai ini mengalir
di Jerman, itulah mengapa salah satu negara bagiannya bernama Rheinland
Pfalz, di wilayah ini keeksotisan Sungai Rhein terpancar melalui
perpaduan lanskap budaya dan alam yg begitu indah…
Sejenak mengingat
masa lalu, rakyat Jerman pernah dibuat terkejut oleh Perjanjian
Versailles yang berisi penyerahan sebagian wilayah Jerman ke negara
tetangga, salah satunya adalah Rheinland. Begitu malu dan terlukanya
rakyat Jerman karena disamping harus menanggung aib atas dituduhnya
Jerman sebagai biang keladi meletusnya PD I, mereka harus merelakan
wilayahnya dikuasai negara lain, sehingga ketika Nazi berhasil
merebut kembali wilayah Rheinland, popularitas Adolf Hitler meroket di
seluruh penjuru Jerman.
Panorama Sungai Rhein antara Koblenz hingga Ruedesheim adalah satu-satunya panorama yang tidak
dimiliki oleh negara-negara lain yang dialiri sungai ini. Betapa
tidak, salah satu kawasannya dikenal dengan Romantischer Rhein atau
Romantic Rhine menyajikan pemandangan luar biasa indah berupa
hamparan perkebunan anggur bertingkat, desa & kota tua, serta kastil
& istana dari abad pertengahan yang diselimuti dongeng & legenda tentang keberanian, cinta dan penghianatan. Tahun 2002 UNESCO
memasukkan kawasan tersebut dalam situs warisan dunia karena perpaduan unik antara geologi, sejarah, budaya dan industri.
Cara terbaik
menelusuri keindahan Sungai Rhein tentu saja menggunakan kapal, banyak
sekali boat trip yang ditawarkan, karena mengawali perjalanan dari
kota Ruedesheim, maka pilihan jatuh pada jalur ”Middle Rhine Valley”
yaitu Ruedesheim-Assmanshausen. Ketika kapal melaju dan penumpang sibuk
menyantap hidangan di atas meja saya justru mencari posisi strategis
untuk menikmati hidangan visual berupa lembah perkebunan anggur -anggur yg dihasilkan dari perkebunan di lembah Sungai Rhein adalah yang terbaik di Jerman-,
rumah-rumah kayu, reruntuhan kastil dan istana yang bergantian
memanjakan mata, nun jauh disana Niederwalddenkmal –sebuah monumen yg
menjadi simbol persatuan antar suku di Jerman- berdiri tegak.
Kasus pencemaran air oleh industri bukannya tidak
pernah terjadi di Sungai Rhein, kecelakaan salah satu pabrik kimia di
Basel Swiss th 1987 mengakibatkan berton-ton pestisida beracun bocor ke
sungai, ribuan ikan mati dan beberapa spesies hilang. Sebenarnya sejak
th 1950 suatu badan antar negara untuk melindungi Sungai Rhein telah
dibentuk, namanya International Commission for the Protection of the
Rhine Against Pollution. Tetapi insiden pabrik kimia di Swiss telah
memicu gerakan yang diberi nama Rhine Action Program (RAP) yang kini
diadopsi oleh beberapa negara yang berbatasan dengan Sungai Rhein
(Swiss, Jerman, Luksemburg, Perancis & Belanda). Tujuan utamanya
adalah mengembalikan spesies ikan salmon yang pernah tumbuh di sungai
ini, sedangkan tujuan khusus RAP yang disetujui oleh Komisi Perlindungan
Sungai Rhein setelah insiden bocornya pestisida tersebut adalah:
mempercepat pengurangan polusi permanen dari semua sumber, mengurangi
resiko kecelakaan & tumpahan, dan meningkatkan kondisi hidrologis
sungai. Di dalam negri sendiri RAP menerapkan beberapa gerakan untuk
mengurangi tingkat polusi yaitu: membuat hukum nasional mengenai ambang
batas pembuangan limbah, mewajibkan semua industri memiliki ijin emisi,
mengenakan pajak terhadap industri yang mencemari lingkungan dan
membangun stasiun pemurnian.
Akhirnya berkat kontrol lingkungan yang
ketat melalui RAP dan transisi yg sukses dari industri berat ke
industri ringan serta gerakan pembersihan sungai, maka saat ini Sungai
Rhein terlihat bersih, pembuangan bahan berbahaya mengalami penurunan
dan limbah yang mengandung racun tidak lagi ditemukan. Salah seorang peserta Bayer Young Environmental Envoy dari
Indonesia -suatu program lingkungan hidup yg disponsori perusahaan
Bayer- mengambil sampel air Sungai Rhein di kota Leverkusen -lokasi
perusahaan Bayer- untuk diteliti tentang kondisi aman tidaknya bagi
lingkungan, dia memeriksa kondisi sungai 2x sehari dan hasilnya sungai
ini dinyatakan aman bagi lingkungan meski airnya berwarna coklat,
ternyata warna ini dihasilkan akibat kapal yang melintas membuat tanah
di bawahnya berputar, kebetulan sungai di daerah ini dangkal,
kedalamannya hanya 4 meter.
Sebagai jalur vital perdagangan bagi
kawasan Jerman bagian barat, aktivitas kapal dagang yang melintas di
sungai ini sangat padat dan ramai, setiap hari berton-ton barang
diangkut dengan kapal tongkang dari pelabuhan di pinggir sungai untuk
dibawa ke beberapa kota di Jerman. Duesseldorf, Koeln (Cologne) dan
Duisburg adalah kota-kota industri yang urat nadi perekonomiannya
ditunjang oleh jasa baik Sungai Rhein. Inilah mengapa di Jerman hanya
sedikit truk besar melintas di Autobahn karena salah satu kebijakan
pemerintahnya adalah menunjang kegairahan ekonomi melalui jalur
perairan, sehingga pemberlakuan ERP bagi truk yang melintas di Autobahn
dianggap mendukung kebijakan tersebut.
Membicarakan pelabuhan di
Jerman tak bisa lepas dari Pelabuhan Internasional Hamburg, sebagai
pelabuhan terbesar kedua di Eropa setelah Pelabuhan Rotterdam, Hamburg
merupakan pintu utama Jerman dalam perdagangan antar negara. Jalur
Sungai Elbe yang berujung di Hamburg untuk selanjutnya bermuara ke Laut
Utara telah membawa kapal-kapal berbendera internasional keluar masuk di
pelabuhan ini. Kapal-kapal tersebut menurunkan muatannya untuk
selanjutnya didistribusikan ke beberapa negara di Eropa Barat. Meski
lokasinya tidak persis di pinggir laut, Hamburg telah berhasil
memanfaatkan sungainya menjadi jalur perdagangan internasional menuju
laut lepas. Tak heran jika Th. 2008 Jerman menempati posisi pertama
dalam Daftar Peringkat Nilai Ekspor yg dikeluarkan oleh WTO, peringkat
ini kemudian digeser Cina Th. 2009, jelas ini bukan berarti nilai ekspor
Jerman menurun, tetapi lebih karena Cina dalam 5 tahun terakhir ini
semakin mendominasi dunia dengan produk-produk murahnya.
Jika
sungai-sungai di Jerman mempunyai arti penting bagi kehidupan di
sekelilingnya, tidak demikian dengan nasib sungai di negeri kita,
terpuruk dalam kotoran dan sampah. Bahkan sungai di pulau Sumatera &
Kalimantan hanya memberi keuntungan bagi para penentu kebijakan di
negeri ini, yaitu sebagai pintu untuk menyelundupkan gelondongan kayu
ilegal..
Dimana-mana kepadatan penduduk selalu menimbulkan pusing tujuh
keliling pemerintah daerah yang berniat menyediakan hunian layak bagi
warganya. Ah, boro-boro layak huni, lahan saja makin susah didapat.
Terbatasnya lahan di lingkungan perkotaan sangat tidak berimbang dengan
tingkat kebutuhan hunian yang begitu tinggi. Di Indonesia masalah ini
terpecahkan melalui pembangunan rumah susun dan apartemen mewah di kota
besar. Bagi masyarakat kita -yang terbiasa dengan pola hunian
horisontal- konsep hunian vertikal ini tentunya memunculkan permasalahan
baru, yaitu terbatasnya ruang gerak untuk memenuhi kegiatan
sehari-hari.
Lantas bagaimana dengan Rotterdam? Kota yang
terletak di propinsi Zuid Holland ini mempunyai kawasan pemukiman
horisontal vertikal di tengah kota. Adalah sebuah pemikiran cemerlang
dari seorang arsitek bernama Piet Blom yang menawarkan ide untuk
Kubuswoningen atau rumah kubus di tahun 1970-an. Blom membangun batch
pertama 21 rumah kubus di kota Helmond th 1975-1977, setahun kemudian ia
menyajikan konsep ini untuk Kubuswoningen Rotterdam. Akhirnya proyek
pembangunan Kubuswoningen yang kemudian populer dengan nama Kijk Kubus
dimulai th. 1982 dan selesai pd th 1984.
Kompleks pemukiman ini terletak
persis diatas jalan raya, bentuknya yang unik yaitu berupa kubus
berwarna kuning berhasil mencuri perhatian siapa saja yang melintas.
Jalur pedestrian yang dibangun di dalam kompleks ini mampu menghadirkan
suasana hunian horisontal berupa interaksi sosial para penghuninya. Blom
merancang Kijk Kubus sebagai kompleks hunian dengan konsep ”hutan” di
tengah kota, lihatlah pilar yang berperan sebagai batang pohon untuk
menyangga kubus yg berperan sebagai daun dan ranting sebagai peneduh,
artinya setiap bangunan berperan sebagai satu pohon. Dengan demikian
keseluruhan kompleks hunian ini akan membentuk hutan di tengah kota,
tentu saja bukan hutan dalam arti sebenarnya, tetapi paling tidak
kehadirannya telah memberi solusi cerdas bagi pemkot Rotterdam dalam
melayani kebutuhan warga sekaligus memberi sentuhan seni bagi keangkuhan
sebuah kota...
Duesseldorf memang kurang begitu populer di kalangan wisatawan
Indonesia, kalah pamor dibanding Cologne, Frankfurt, Munich apalagi
Berlin. Tapi tidak bagi mereka yang sering bepergian ke Jerman atau bagi
mahasiswa yang sedang menuntut ilmu disana. Mereka tahu, Duesseldorf
menawarkan sentuhan lain, kota tua (Altstadt), shopping, chic fashion,
gaya hidup, wisata kuliner dan wisata sungai, adalah bagian tak
terpisahkan dari kota ini dan semua itu dapat dinikmati dalam satu area.
Ibukota
negara bagian Nordrhein Westfalen (NRW) yg terletak di tepi Sungai
Rhein ini mudah dijangkau dari berbagai penjuru, baik darat, laut maupun
udara. Bandara Internasional Duesseldorf adalah terbesar ketiga setelah
Frankfurt dan Munich. Dengan posisi seperti itu, tidak heran jika kota
yang lebih dari 700 th lalu hanyalah sebuah desa dan pernah luluh lantak
oleh Perang Dunia II, kini menjelma menjadi pusat perdagangan
internasional dan salah satu pusat finansial Jerman.
Dahulu
kala Duesseldorf hanyalah wilayah dibawah kekuasaan bangsawan Graf
Adolf V von Berg yang dihuni oleh warga desa di pinggir sungai kecil
yang bernama Duessel, Dorf sendiri dalam Bahasa Jerman berarti desa.
Warga Desa Duessel bagai mendapat durian runtuh ketika tgl 14
Agustus 1288 Graf Adolf v Berg memutuskan memberikan hak istimewa bagi
desa tersebut menjadi sebuah kota dengan luas 3,8 hektar. Saat itu
jangankan Balai kota, dinding batas kota saja mereka tidak punya.
Selanjutnya dibawah kepemimpinan Johann Wilhelm (1679-1716) atau lebih
di kenal dengan nama Jan Wellem, perkembangan perkotaan di bidang
ekonomi dan budaya maju pesat. Sebagai bentuk penghargaan terhadap orang
yg dianggap sangat berjasa, nama Graf Adolf dan Jan Wellem kemudian
diabadikan sebagai nama jalan dan area di kota Duesseldorf.
Heinrich
Heine Alle adalah pintu gerbang menuju Altstadt (Alt:tua,Stadt:kota),
memasuki kawasan ini kaki akan berpijak pada deretan pavingstone yg
tersusun rapi dan tentu saja hanya boleh dilalui oleh pejalan kaki.
Bagaimana dengan pengunjung yang membawa kendaraan? Jangan kuatir pemkot
Duesseldorf telah menyediakan lahan parkir di bawah kota tua ini.
Berbeda dengan kota-kota tua di Jerman atau bahkan negara-negara Eropa
lainnya yang biasanya dipenuhi butik dan galeri, Altstadt Duesseldorf
menawarkan pemandangan lain, selain toko-toko yg menawarkan merk-merk
trendi, kawasan ini dipenuhi oleh deretan bar, kafe dan restoran yang
begitu menggoda siapa saja yg melaluinya, menggoda perut yang tidak
lapar menjadi terasa lapar. Bagaimana tidak, semua jenis makanan dari
berbagai bangsa tersedia, selain makanan dari sekitar Eropa yang sudah
biasa, makanan dari Timur Tengah hingga Korea tersedia komplit, seafood,
steak, mie, kebab, semua ada. Jangan mencari restoran Indonesia, tidak
akan ada, tapi kalau mencari citarasa Indonesia bisa ke warung Vietnam,
warung Vietnam di Altstadt highly recommended karena disamping
harganya tidak terlalu mahal hampir semua menunya akrab di lidah
Indonesia, hanya cara penyajiannya saja yang berbeda, pemiliknya pun
ramah apalagi jika tahu pengunjungnya dari Indonesia. Yang
menarik, hampir semua toko, restoran, bar di kawasan ini menempati
bangunan tua yang masih terawat dengan baik, tentu saja, namanya saja
Kota Tua.
Di ujung kawasan kota tua terdapat Balai Kota
Duesseldorf atau dalam Bahasa Jerman disebut Rathaus, di depannya
berdiri tegak patung berkuda Jan Wellem yang terbuat dari perunggu.
Patung ini dibuat Th. 1711 oleh Gabriel des Grupello atas perintah Jan
Wellem sendiri. Agak narsis memang, tapi terbukti patung ini belakangan
justru menjadi salah satu ikon kota Duesseldorf. Saat musim panas tiba gedung
Rathaus akan berhiaskan warna-warni bunga yg sangat indah.
Meninggalkan Altstadt, kawasan Burgplatz (plazt=place) telah menunggu, pada abad 14 pernah berdiri Istana disini,
tetapi kebakaran hebat yang melanda Istana tersebut th 1872
membuat kini hanya tersisa Schlossturm (Turm=tower) yang sekarang berfungsi
sebagai museum kapal. Di belakang tower terdapat anak
tangga menuju tempat seru untuk
nongkrong di tepi sungai Rhein, selama musim panas beberapa kali film layar tancap diputar
disini.
Menghabiskan senja sambil duduk dan menikmati pemandangan
matahari tenggelam di tepi Sungai Rhein adalah alasan favorit sebagian
besar pengunjung. Sungai Rhein adalah sungai terpanjang di Jerman,
Duesseldorf hanya salah satu dari sekian banyak kota di Jerman yang
dilaluinya. Sepanjang jalan di tepi sungai Rhein atau lebih
dikenal dengan Rheinuferpromenade (River Rhine Promenade) adalah tempat yang menawarkan kenikmatan jiwa raga. Lagi-lagi di sepanjang
kawasan dipenuhi berbagai cafe dan restoran (dengan menu cenderung
ke Mediterania), semua kursi dan meja untuk pengunjung diletakkan di
luar, pengunjung bisa makan dan minum sambil melihat anak-anak bermain
inline skating, ABG tebar pesona, atau kapal wisata dan kapal pengangkut
barang yang melintas di Sungai Rhein, sesekali melintas orang bermain kano.
Mengutip buku tentang Duesseldorf, terdapat
kira-kira 200 bar dan restoran yang berderet dan bertebaran di sepanjang
Heinrich Heine Alle hingga Rheinuferpromenade. Angka yang cukup
fantastis, tak heran jika dijuluki sebagai “the longest bar of the
world”
Tidak jauh dari Altstadt terdapat Koenigsallee
(King’s Avenue) yaitu Boulevard sepanjang 1 km yang dibelah sungai kecil
sebagai bentuk pemisahan tegas antara deretan butik terkenal, kafe
& restoran mewah, galeri seni dengan deretan perkantoran eksklusif
yg telah direnovasi sedemikian rupa hingga masih menyisakan keelokan
bangunan masa lalu. Aigner, Gucci, Giorgio Armani, Chanel, Calvin
Klein, Max Mara, Zara, Louis Vuitton adalah sebagian dari banyaknya
butik dan galeri mewah yg menempati kawasan dimana tidak bakal ditemukan
secuilpun sampah tercecer di jalan. Kesan bersih, eksklusif dan elegan
membuat pemilik butik tak segan-segan menggelar Fashion on the Street
saat musim panas. Sebagai kiblat mode bagi Jerman, Claudia Schiffer
& Heidi Klum meniti karir di kota ini, sebelum menjadi super
model dunia mereka berdua pernah merasakan berlenggak-lenggok diatas
Boulevard Koenigsalle. Berbeda dengan Altstadt yang lebih merakyat,
pengunjung, baik tua-muda di Koenigsallee terasa lebih
berkelas, mereka wangi, trendi dan tentu saja sangat modis.
”Duesseldorf adalah Paris Mini” demikian komentar seorang teman ketika
mengunjunginya. Ya, disamping Paris Mini, Duesseldorf adalah kota yang
ramah. Asal pandai membawa diri, penduduk asli kota ini pasti menyambut hangat warga pendatang, seperti yang pernah saya alami.
Selain Altstadt &
Koenigsallee masih ada Medienhafen dan Schloss Benrath yang menarik
untuk dikunjungi. Bagi seorang Arsitek, Medienhafen (Hafen=harbour)
menawarkan arsitektur bangunan perkantoran unik, asimetris
dan lucu. Medienhafen yang terletak di tepi Sungai Rhein seolah
diciptakan supaya pengunjung tidak melulu menikmati pemandangan ciptaan
Tuhan tapi sekaligus hasil karya manusia.
Sementara Schloss Benrath
(Schloss=Castle) terletak agak di luar kota, dibangun th 1755,
arsitekturnya bergaya barok dan berwarna pink, tampak depan tidak begitu
menarik kecuali danau luas di depan istana dengan bebek-bebek yang
berenang didalamnya. Keindahan kompleks ini justru terletak di taman
belakang, dengan total luas 610.000m2, taman ini tampak hijau dan
berwarna-warni, konser musik secara rutin digelar di halaman belakang
oleh yayasan yang mengelolanya, untuk menontonnya tidak dipungut biaya,
tidak disediakan kursi, penonton bebas duduk sambil ngemil atau
tiduran di rumput.
Salah satu agenda tahunan yang rutin
diselenggarakan di Duesseldorf adalah Japan Tag (Tag=day). Tidak ada
kota di Jerman yang jumlah warga Jepang-nya melebihi warga Jepang yg
tinggal di Duesseldorf, komunitas Jepang disini adalah terbesar ketiga
di Eropa setelah London dan Paris. Sejak th 1950 kota ini telah
membuka pintu bagi beberapa perush Jepang, berarti sudah 6 dekade
Duesseldorf-Jepang menjalin kerjasama. Dari sekitar 5000 perush
asing yg berbasis di Duesseldorf, 450 diantaranya milik Jepang,
al: Bank of Tokyo, Mitsubishi dan Nippon Steel Corp. Sebagai bentuk
penghargaan terhadap warga Jepang, sejak th 2002 diselenggarakan Japan
Tag. Origami, ikebana, kaligrafi, samurai, judo, karate, adalah beberapa
dari sekian banyak atraksi khas Jepang yang digelar di
Rheinuferpromenade. Maka setiap tahun selama satu hari di penghujung
bulan Mei, Duesseldorf bak bertransformasi menjadi kota di Jepang karena
seluruh komunitas Jepang di Eropa tumplek blek jadi satu. Sebagai
penutup Japan Tag, malam hari tepat pukul 00 langit Dyuserru – demikian
lidah Jepang menyebut kota ini- akan dihiasi warna-warni kembang
api...hmm, beberapa tahun lalu saya masih bisa menikmati indahnya atraksi ini dari
jendela apartemen...
Bagi saya pribadi, semua kota di Jerman menarik untuk
dikunjungi, tentu saja dengan keistimewaan masing-masing, Heidelberg
adalah salah satunya. Terletak di tepi Sungai Neckar, Heidelberg
menawarkan pesona keindahan tiada tara yaitu keindahan khas Eropa,
ketika bangunan bergaya barok berpadu dengan jalanan berbatu abad
pertengahan. Berdirinya Universitas Heidelberg Th. 1386 dan berpredikat
universitas tertua di Jerman sekaligus pusat riset terkemuka di Eropa
semakin mempertegas julukan Heidelberg sebagai Kota Tua. Posisi kotanya
strategis, berada di selatan Frankfurt, mudah dijangkau dan sangat
populer di kalangan wisatawan asing (kecuali Indonesia, karena wisatawan
kita hanya mengenal Berlin, Munich, Frankfurt dan Cologne sebagai
tujuan wisata di Jerman), perjalanan kereta dari Frankfurt bisa ditempuh
kurang dari 1 jam.
Tujuan utama mengunjungi kota ini
tentu saja Schloss Heidelberg atau Heidelberg Castle, simbol utama kota
Heidelberg, kota paling romantis di Jerman karena keberadaan kastilnya,
jika kemudian saya menemukan kejutan-kejutan lain yang tak kalah indah,
adalah bonus bagi perjalanan ini.
Reruntuhan kastil bergaya gothic dan renaissance
ini dibangun pada abad ke 13 diatas bukit Koenigstuhl oleh Prince
Rupert I (pendiri Uni Heidelberg). Memiliki sejarah sangat kompleks,
pernah hancur akibat perang, dibangun lagi, hancur lagi tersambar petir,
dibakar pasukan Perancis, dan diberondong meriam pasukan Swedia,
kerusakan terparah terjadi saat penduduk Heidelberg berbondong-bondong
mengambil batu kastil untuk membangun rumah baru. Namun berkat kerja
keras seorang bangsawan dari Perancis, Charles de Graimberg berhasil
menyelamatkan reruntuhan kastil dari kehancuran total dan
mempromosikannya sebagai obyek wisata.
Heidelberg Castle dapat dicapai melalui 2 cara, jalan kaki mendaki bukit atau menggunakan funicular railway,
saya pilih yang pertama, bukannya sok kuat, sama sekali bukan, tapi
karena datang terlalu pagi, sehingga bersama turis-turis lain yang
kecele karena loket funicular masih tutup kami terpaksa jalan
kaki mendaki bukit terjal. Meski terengah-engah, toh akhirnya kelelahan
terbayar oleh pemandangan spektakuler dari teras dan jendela kastil.
Ternyata tidak sia-sia mengambil rute ini, karena langsung disuguhi
panorama indah Kota Heidelberg dari atas, menikmati bentangan Alte
Brücke (The Old Bridge) berdiri kokoh diatas Sungai Neckar, Altstadt
(The Old Town), serta deretan rumah penduduk di bukit seberang yang
tampak kecil bak mainan rumah-rumahan.
Kastil ini sungguh elok,
berdiri di tengah taman luas nan asri serta dikelilingi pepohonan hijau,
warnanya merah bata cenderung muda, bangunannya terdiri dari
bermacam-macam gaya, setiap bangunan menunjukkan gaya arsitektur dari
suatu masa tertentu, misalnya The Main Hall bergaya renaissance sedangkan The King's Hall, sekarang berfungsi sebagai tempat jamuan makan malam dan pesta pernikahan bergaya gothic.
Malam hari selama musim panas digelar Festival Heidelberg berupa
pertunjukan konser musik klasik, teater dan opera di halaman kastil
(meski ide ini biasa bagi saya, karena pertunjukan Sendratari Ramayana
di Candi Prambanan tak kalah indah). Lantas dimana romantisme itu?
Adalah sore hari ketika senja perlahan turun, duduk di taman kastil
sambil menyongsong senja tiba adalah suasana tak terlupakan, bahkan
seorang teman yang telah terbiasa melanglang buana berpendapat tidak
banyak spot di dunia ini yang bisa menandingi nuansa romantis senja hari
di Heidelberg Castle.
Tiket masuk kastil sebesar 3 EUR (sekarang pasti lebih) adalah paket 3 in 1, artinya disamping reruntuhan kastil, sangat
disayangkan jika melewatkan Deutsches Apothekenmuseum dan Keller. Keller
(dalam bahasa Jerman) atau ruang bawah tanah adalah tempat menyimpan
gentong wine, dahulu kala petani di daerah ini wajib membayar sebagian pajak mereka dalam bentuk wine
kemudian disimpan dalam gentong.
Gentong wine raksasa dari kayu
berkapasitas 220.017 liter, berukuran panjang 8,5 m dan tinggi 7 m
dibuat Th 1751 oleh Karl Theodor ketika harus berkompetisi dengan
seorang Pangeran dari Würrtemberg, sedangkan Museum Apotek Jerman
menampilkan display 20.000 benda yang menggambarkan sejarah farmasi dari
masa ke masa selama 2000 tahun di Eropa.
Membentang
sejauh 1,6 km di atas Sungai Neckar, memiliki 9 lengkung kokoh, dipadu
dua menara (Karl's Gate) mengapit pintu gerbang bergaya barok (hingga
menginspirasi J.R.R Tolkien menulis salah satu episode "The Two Towers"
dalam trilogi The Lord of the Rings) demikian gambaran tentang Karl
Theodor-Brücke atau Alte Brücke (The Old Bridge). Awalnya jembatan ini
terbuat dari kayu sehingga sangat rentan, berulang kali dibangun akibat
terbakar dan hancur oleh banjir, sampai akhirnyaTh. 1788 Karl Theodor
mengganti konstruksi jembatan dari batu. Selesai? belum,
Th.1945 ketika meletus PD II The Old Bridge ikut hancur, Th 1946 donasi
sukarela warga membuat jembatan berhasil direnovasi kurang dari 1,5
tahun kemudian. Sembilan tahun lalu tepatnya Th. 2001 The Old Bridge
dinyatakan tertutup bagi lalu lintas kendaraan, artinya hanya pesepeda dan
pejalan kaki yang boleh melintas. Sekarang Old Bridge menjadi salah
satu pedestrian tercantik dan terpanjang di Eropa.
Tentu
saja bukan Cuma Heidelberg Castle dan Old Bridge lokasi menarik lain di
Heidelberg, masih ada Altstadt (Old Town) dan Uni Heidelberg. Memasuki
Altstadt suasana seperti dibawa ke masa lalu dengan nuansa kosmopolitan,
jalanan sempit, meja-kursi kafe berderet, toko souvenir digelar, butik
pun ada. Banyak sekali yang bisa ditemukan di Old Town, museum, gereja,
sinagog, monumen, market square sampai dengan balai kota (di Jerman semua balai kota terletak di Altstadt).
Dengan
gambaran kota seperti itu kiranya wisatawan Indonesia wajib memasukkan
Heidelberg dalam daftar tempat wisata yang harus dikunjungi ketika
berkeliling Eropa. Percayalah, meski tidak banyak menyimpan kisah
romantis tetapi Heidelberg menawarkan suasana romantis yang akan
terkenang sepanjang masa...