Thursday, January 3, 2013

Rhein, pesona sebuah sungai...

Membentang sejauh 1.232 km membelah Eropa Barat, Sungai Rhein mengawali alirannya dari Pegunungan Alpen di Swiss kemudian melewati Liechtenstein, Austria, Jerman, Perancis, Luksemburg, Belgia dan berakhir di Rotterdam-Belanda. Hampir separuh dari sungai ini mengalir di Jerman, itulah mengapa salah satu negara bagiannya bernama Rheinland Pfalz, di wilayah ini keeksotisan Sungai Rhein terpancar melalui perpaduan lanskap budaya dan alam yg begitu indah…
Sejenak mengingat masa lalu, rakyat Jerman pernah dibuat terkejut oleh Perjanjian Versailles yang berisi penyerahan sebagian wilayah Jerman ke negara tetangga, salah satunya adalah Rheinland. Begitu malu dan terlukanya rakyat Jerman karena disamping harus menanggung aib atas dituduhnya Jerman sebagai biang keladi meletusnya PD I, mereka harus merelakan wilayahnya dikuasai negara lain, sehingga ketika Nazi berhasil merebut kembali wilayah Rheinland, popularitas Adolf Hitler meroket di seluruh penjuru Jerman.

Panorama Sungai Rhein antara Koblenz hingga Ruedesheim adalah satu-satunya panorama yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain yang dialiri sungai ini. Betapa tidak, salah satu kawasannya dikenal dengan Romantischer Rhein atau Romantic Rhine menyajikan pemandangan luar biasa indah berupa hamparan perkebunan anggur bertingkat, desa & kota tua, serta kastil & istana dari abad pertengahan yang diselimuti dongeng & legenda tentang keberanian, cinta dan penghianatan. Tahun 2002 UNESCO memasukkan kawasan tersebut dalam situs warisan dunia karena perpaduan unik antara geologi, sejarah, budaya dan industri.



Cara terbaik menelusuri keindahan Sungai Rhein tentu saja menggunakan kapal, banyak sekali boat trip yang ditawarkan, karena mengawali perjalanan dari kota Ruedesheim, maka pilihan jatuh pada jalur ”Middle Rhine Valley” yaitu Ruedesheim-Assmanshausen. Ketika kapal melaju dan penumpang sibuk menyantap hidangan di atas meja saya justru mencari posisi strategis untuk menikmati hidangan visual berupa lembah perkebunan anggur -anggur yg dihasilkan dari perkebunan di lembah Sungai Rhein adalah yang terbaik di Jerman-, rumah-rumah kayu, reruntuhan kastil dan istana yang bergantian memanjakan mata, nun jauh disana Niederwalddenkmal –sebuah monumen yg menjadi simbol persatuan antar suku di Jerman- berdiri tegak. 

Kasus pencemaran air oleh industri bukannya tidak pernah terjadi di Sungai Rhein, kecelakaan salah satu pabrik kimia di Basel Swiss th 1987 mengakibatkan berton-ton pestisida beracun bocor ke sungai, ribuan ikan mati dan beberapa spesies hilang. Sebenarnya sejak th 1950 suatu badan antar negara untuk melindungi Sungai Rhein telah dibentuk, namanya International Commission for the Protection of the Rhine Against Pollution. Tetapi insiden pabrik kimia di Swiss telah memicu gerakan yang diberi nama Rhine Action Program (RAP) yang kini diadopsi oleh beberapa negara yang berbatasan dengan Sungai Rhein (Swiss, Jerman, Luksemburg, Perancis & Belanda). Tujuan utamanya adalah mengembalikan spesies ikan salmon yang pernah tumbuh di sungai ini, sedangkan tujuan khusus RAP yang disetujui oleh Komisi Perlindungan Sungai Rhein setelah insiden bocornya pestisida tersebut adalah: mempercepat pengurangan polusi permanen dari semua sumber, mengurangi resiko kecelakaan & tumpahan, dan meningkatkan kondisi hidrologis sungai. Di dalam negri sendiri RAP menerapkan beberapa gerakan untuk mengurangi tingkat polusi yaitu: membuat hukum nasional mengenai ambang batas pembuangan limbah, mewajibkan semua industri memiliki ijin emisi, mengenakan pajak terhadap industri yang mencemari lingkungan dan membangun stasiun pemurnian.
Akhirnya berkat kontrol lingkungan yang ketat melalui RAP dan transisi yg sukses dari industri berat ke industri ringan serta gerakan pembersihan sungai, maka saat ini Sungai Rhein terlihat bersih, pembuangan bahan berbahaya mengalami penurunan dan limbah yang mengandung racun tidak lagi ditemukan. Salah seorang peserta Bayer Young Environmental Envoy dari Indonesia -suatu program lingkungan hidup yg disponsori perusahaan Bayer- mengambil sampel air Sungai Rhein di kota Leverkusen -lokasi perusahaan Bayer- untuk diteliti tentang kondisi aman tidaknya bagi lingkungan, dia memeriksa kondisi sungai 2x sehari dan hasilnya sungai ini dinyatakan aman bagi lingkungan meski airnya berwarna coklat, ternyata warna ini dihasilkan akibat kapal yang melintas membuat tanah di bawahnya berputar, kebetulan sungai di daerah ini dangkal, kedalamannya hanya 4 meter.

 

Sebagai jalur vital perdagangan bagi kawasan Jerman bagian barat, aktivitas kapal dagang yang melintas di sungai ini sangat padat dan ramai, setiap hari berton-ton barang diangkut dengan kapal tongkang dari pelabuhan di pinggir sungai untuk dibawa ke beberapa kota di Jerman. Duesseldorf, Koeln (Cologne) dan Duisburg adalah kota-kota industri yang urat nadi perekonomiannya ditunjang oleh jasa baik Sungai Rhein. Inilah mengapa di Jerman hanya sedikit truk besar melintas di Autobahn karena salah satu kebijakan pemerintahnya adalah menunjang kegairahan ekonomi melalui jalur perairan, sehingga pemberlakuan ERP bagi truk yang melintas di Autobahn dianggap mendukung kebijakan tersebut.

Membicarakan pelabuhan di Jerman tak bisa lepas dari Pelabuhan Internasional Hamburg, sebagai pelabuhan terbesar kedua di Eropa setelah Pelabuhan Rotterdam, Hamburg merupakan pintu utama Jerman dalam perdagangan antar negara. Jalur Sungai Elbe yang berujung di Hamburg untuk selanjutnya bermuara ke Laut Utara telah membawa kapal-kapal berbendera internasional keluar masuk di pelabuhan ini. Kapal-kapal tersebut menurunkan muatannya untuk selanjutnya didistribusikan ke beberapa negara di Eropa Barat. Meski lokasinya tidak persis di pinggir laut, Hamburg telah berhasil memanfaatkan sungainya menjadi jalur perdagangan internasional menuju laut lepas. Tak heran jika Th. 2008 Jerman menempati posisi pertama dalam Daftar Peringkat Nilai Ekspor yg dikeluarkan oleh WTO, peringkat ini kemudian digeser Cina Th. 2009, jelas ini bukan berarti nilai ekspor Jerman menurun, tetapi lebih karena Cina dalam 5 tahun terakhir ini semakin mendominasi dunia dengan produk-produk murahnya.

Jika sungai-sungai di Jerman mempunyai arti penting bagi kehidupan di sekelilingnya, tidak demikian dengan nasib sungai di negeri kita, terpuruk dalam kotoran dan sampah. Bahkan sungai di pulau Sumatera & Kalimantan hanya memberi keuntungan bagi para penentu kebijakan di negeri ini, yaitu sebagai pintu untuk menyelundupkan gelondongan kayu ilegal..

Ketika seni menyentuh keangkuhan sebuah kota..

Dimana-mana kepadatan penduduk selalu menimbulkan pusing tujuh keliling pemerintah daerah yang berniat menyediakan hunian layak bagi warganya. Ah, boro-boro layak huni, lahan saja makin susah didapat. Terbatasnya lahan di lingkungan perkotaan sangat tidak berimbang dengan tingkat kebutuhan hunian yang begitu tinggi. Di Indonesia masalah ini terpecahkan melalui pembangunan rumah susun dan apartemen mewah di kota besar. Bagi masyarakat kita -yang terbiasa dengan pola hunian horisontal- konsep hunian vertikal ini tentunya memunculkan permasalahan baru, yaitu terbatasnya ruang gerak untuk memenuhi kegiatan sehari-hari.

Lantas bagaimana dengan Rotterdam? Kota yang terletak di propinsi Zuid Holland ini mempunyai kawasan pemukiman horisontal vertikal di tengah kota. Adalah sebuah pemikiran cemerlang dari seorang arsitek bernama Piet Blom yang menawarkan ide untuk Kubuswoningen atau rumah kubus di tahun 1970-an. Blom membangun batch pertama 21 rumah kubus di kota Helmond th 1975-1977, setahun kemudian ia menyajikan konsep ini untuk Kubuswoningen Rotterdam. Akhirnya proyek pembangunan Kubuswoningen yang kemudian populer dengan nama Kijk Kubus dimulai th. 1982 dan selesai pd th 1984. 



Kompleks pemukiman ini terletak persis diatas jalan raya, bentuknya yang unik yaitu berupa kubus berwarna kuning berhasil mencuri perhatian siapa saja yang melintas. Jalur pedestrian yang dibangun di dalam kompleks ini mampu menghadirkan suasana hunian horisontal berupa interaksi sosial para penghuninya. Blom merancang Kijk Kubus sebagai kompleks hunian dengan konsep ”hutan” di tengah kota, lihatlah pilar yang berperan sebagai batang pohon untuk menyangga kubus yg berperan sebagai daun dan ranting sebagai peneduh, artinya setiap bangunan berperan sebagai satu pohon. Dengan demikian keseluruhan kompleks hunian ini akan membentuk hutan di tengah kota, tentu saja bukan hutan dalam arti sebenarnya, tetapi paling tidak kehadirannya telah memberi solusi cerdas bagi pemkot Rotterdam dalam melayani kebutuhan warga sekaligus memberi sentuhan seni bagi keangkuhan sebuah kota...

Kehangatan itu hadir di Duesseldorf...


Duesseldorf memang kurang begitu populer di kalangan wisatawan Indonesia, kalah pamor dibanding Cologne, Frankfurt, Munich apalagi Berlin. Tapi tidak bagi mereka yang sering bepergian ke Jerman atau bagi mahasiswa yang sedang menuntut ilmu disana. Mereka tahu, Duesseldorf menawarkan sentuhan lain, kota tua (Altstadt), shopping, chic fashion, gaya hidup, wisata kuliner dan wisata sungai, adalah bagian tak terpisahkan dari kota ini dan semua itu dapat dinikmati dalam satu area.
Ibukota negara bagian Nordrhein Westfalen (NRW) yg terletak di tepi Sungai Rhein ini mudah dijangkau dari berbagai penjuru, baik darat, laut maupun udara. Bandara Internasional Duesseldorf adalah terbesar ketiga setelah Frankfurt dan Munich. Dengan posisi seperti itu, tidak heran jika kota yang lebih dari 700 th lalu hanyalah sebuah desa dan pernah luluh lantak oleh Perang Dunia II, kini menjelma menjadi pusat perdagangan internasional dan salah satu pusat finansial Jerman.

Dahulu kala Duesseldorf hanyalah wilayah dibawah kekuasaan bangsawan Graf Adolf V von Berg yang dihuni oleh warga desa di pinggir sungai kecil yang bernama Duessel, Dorf sendiri dalam Bahasa Jerman berarti desa. Warga Desa Duessel bagai mendapat durian runtuh ketika tgl 14 Agustus 1288 Graf Adolf v Berg memutuskan memberikan hak istimewa bagi desa tersebut menjadi sebuah kota dengan luas 3,8 hektar. Saat itu jangankan Balai kota, dinding batas kota saja mereka tidak punya. Selanjutnya dibawah kepemimpinan Johann Wilhelm (1679-1716) atau lebih di kenal dengan nama Jan Wellem, perkembangan perkotaan di bidang ekonomi dan budaya maju pesat. Sebagai bentuk penghargaan terhadap orang yg dianggap sangat berjasa, nama Graf Adolf dan Jan Wellem kemudian diabadikan sebagai nama jalan dan area di kota Duesseldorf.

Heinrich Heine Alle adalah pintu gerbang menuju Altstadt (Alt:tua,Stadt:kota), memasuki kawasan ini kaki akan berpijak pada deretan pavingstone yg tersusun rapi dan tentu saja hanya boleh dilalui oleh pejalan kaki. Bagaimana dengan pengunjung yang membawa kendaraan? Jangan kuatir pemkot Duesseldorf telah menyediakan lahan parkir di bawah kota tua ini. Berbeda dengan kota-kota tua di Jerman atau bahkan negara-negara Eropa lainnya yang biasanya dipenuhi butik dan galeri, Altstadt Duesseldorf menawarkan pemandangan lain, selain toko-toko yg menawarkan merk-merk trendi, kawasan ini dipenuhi oleh deretan bar, kafe dan restoran yang begitu menggoda siapa saja yg melaluinya, menggoda perut yang tidak lapar menjadi terasa lapar. Bagaimana tidak, semua jenis makanan dari berbagai bangsa tersedia, selain makanan dari sekitar Eropa yang sudah biasa, makanan dari Timur Tengah hingga Korea tersedia komplit, seafood, steak, mie, kebab, semua ada. Jangan mencari restoran Indonesia, tidak akan ada, tapi kalau mencari citarasa Indonesia bisa ke warung Vietnam, warung Vietnam di Altstadt highly recommended karena disamping harganya tidak terlalu mahal hampir semua menunya akrab di lidah Indonesia, hanya cara penyajiannya saja yang berbeda, pemiliknya pun ramah apalagi jika tahu pengunjungnya dari Indonesia. Yang menarik, hampir semua toko, restoran, bar di kawasan ini menempati bangunan tua yang masih terawat dengan baik, tentu saja, namanya saja Kota Tua.
Di ujung kawasan kota tua terdapat Balai Kota Duesseldorf atau dalam Bahasa Jerman disebut Rathaus, di depannya berdiri tegak patung berkuda Jan Wellem yang terbuat dari perunggu. Patung ini dibuat Th. 1711 oleh Gabriel des Grupello atas perintah Jan Wellem sendiri. Agak narsis memang, tapi terbukti patung ini belakangan justru menjadi salah satu ikon kota Duesseldorf. Saat musim panas tiba gedung Rathaus akan berhiaskan warna-warni bunga yg sangat indah.

Meninggalkan Altstadt, kawasan Burgplatz (plazt=place) telah menunggu, pada abad 14 pernah berdiri Istana disini, tetapi kebakaran hebat yang melanda Istana tersebut th 1872 membuat kini hanya tersisa Schlossturm (Turm=tower) yang sekarang berfungsi sebagai museum kapal. Di belakang tower terdapat anak tangga menuju tempat seru untuk nongkrong di tepi sungai Rhein, selama musim panas beberapa kali film layar tancap diputar disini. 

Menghabiskan senja sambil duduk dan menikmati pemandangan matahari tenggelam di tepi Sungai Rhein adalah alasan favorit sebagian besar pengunjung. Sungai Rhein adalah sungai terpanjang di Jerman, Duesseldorf hanya salah satu dari sekian banyak kota di Jerman yang dilaluinya. Sepanjang jalan di tepi sungai Rhein atau lebih dikenal dengan Rheinuferpromenade (River Rhine Promenade) adalah tempat yang menawarkan kenikmatan jiwa raga. Lagi-lagi di sepanjang kawasan dipenuhi berbagai cafe dan restoran (dengan menu cenderung ke Mediterania), semua kursi dan meja untuk pengunjung diletakkan di luar, pengunjung bisa makan dan minum sambil melihat anak-anak bermain inline skating, ABG tebar pesona, atau kapal wisata dan kapal pengangkut barang yang melintas di Sungai Rhein, sesekali melintas orang bermain kano.

Mengutip buku tentang Duesseldorf, terdapat kira-kira 200 bar dan restoran yang berderet dan bertebaran di sepanjang Heinrich Heine Alle hingga Rheinuferpromenade. Angka yang cukup fantastis, tak heran jika dijuluki sebagai “the longest bar of the world”

Tidak jauh dari Altstadt terdapat Koenigsallee (King’s Avenue) yaitu Boulevard sepanjang 1 km yang dibelah sungai kecil sebagai bentuk pemisahan tegas antara deretan butik terkenal, kafe & restoran mewah, galeri seni dengan deretan perkantoran eksklusif yg telah direnovasi sedemikian rupa hingga masih menyisakan keelokan bangunan masa lalu. Aigner, Gucci, Giorgio Armani, Chanel, Calvin Klein, Max Mara, Zara, Louis Vuitton adalah sebagian dari banyaknya butik dan galeri mewah yg menempati kawasan dimana tidak bakal ditemukan secuilpun sampah tercecer di jalan. Kesan bersih, eksklusif dan elegan membuat pemilik butik tak segan-segan menggelar Fashion on the Street saat musim panas. Sebagai kiblat mode bagi Jerman, Claudia Schiffer & Heidi Klum meniti karir di kota ini, sebelum menjadi super model dunia mereka berdua pernah merasakan berlenggak-lenggok diatas Boulevard Koenigsalle. Berbeda dengan Altstadt yang lebih merakyat, pengunjung, baik tua-muda di Koenigsallee terasa lebih berkelas, mereka wangi, trendi dan tentu saja sangat modis. ”Duesseldorf adalah Paris Mini” demikian komentar seorang teman ketika mengunjunginya. Ya, disamping Paris Mini, Duesseldorf adalah kota yang ramah. Asal pandai membawa diri, penduduk asli kota ini pasti menyambut hangat warga pendatang, seperti yang pernah saya alami.

Selain Altstadt & Koenigsallee masih ada Medienhafen dan Schloss Benrath yang menarik untuk dikunjungi. Bagi seorang Arsitek, Medienhafen (Hafen=harbour) menawarkan arsitektur bangunan perkantoran unik, asimetris dan lucu. Medienhafen yang terletak di tepi Sungai Rhein seolah diciptakan supaya pengunjung tidak melulu menikmati pemandangan ciptaan Tuhan tapi sekaligus hasil karya manusia. 



Sementara Schloss Benrath (Schloss=Castle) terletak agak di luar kota, dibangun th 1755, arsitekturnya bergaya barok dan berwarna pink, tampak depan tidak begitu menarik kecuali danau luas di depan istana dengan bebek-bebek yang berenang didalamnya. Keindahan kompleks ini justru terletak di taman belakang, dengan total luas 610.000m2, taman ini tampak hijau dan berwarna-warni, konser musik secara rutin digelar di halaman belakang oleh yayasan yang mengelolanya, untuk menontonnya tidak dipungut biaya, tidak disediakan kursi, penonton bebas duduk sambil ngemil atau tiduran di rumput.

Salah satu agenda tahunan yang rutin diselenggarakan di Duesseldorf adalah Japan Tag (Tag=day). Tidak ada kota di Jerman yang jumlah warga Jepang-nya melebihi warga Jepang yg tinggal di Duesseldorf, komunitas Jepang disini adalah terbesar ketiga di Eropa setelah London dan Paris. Sejak th 1950 kota ini telah membuka pintu bagi beberapa perush Jepang, berarti sudah 6 dekade Duesseldorf-Jepang menjalin kerjasama. Dari sekitar 5000 perush asing yg berbasis di Duesseldorf, 450 diantaranya milik Jepang, al: Bank of Tokyo, Mitsubishi dan Nippon Steel Corp. Sebagai bentuk penghargaan terhadap warga Jepang, sejak th 2002 diselenggarakan Japan Tag. Origami, ikebana, kaligrafi, samurai, judo, karate, adalah beberapa dari sekian banyak atraksi khas Jepang yang digelar di Rheinuferpromenade. Maka setiap tahun selama satu hari di penghujung bulan Mei, Duesseldorf bak bertransformasi menjadi kota di Jepang karena seluruh komunitas Jepang di Eropa tumplek blek jadi satu. Sebagai penutup Japan Tag, malam hari tepat pukul 00 langit Dyuserru – demikian lidah Jepang menyebut kota ini- akan dihiasi warna-warni kembang api...hmm, beberapa tahun lalu saya masih bisa menikmati indahnya atraksi ini dari jendela apartemen...

Heidelberg, romantisme kastil dalam bingkai kota tua...


Bagi saya pribadi, semua kota di Jerman menarik untuk dikunjungi, tentu saja dengan keistimewaan masing-masing, Heidelberg adalah salah satunya. Terletak di tepi Sungai Neckar, Heidelberg menawarkan pesona keindahan tiada tara yaitu keindahan khas Eropa, ketika bangunan bergaya barok berpadu dengan jalanan berbatu abad pertengahan. Berdirinya Universitas Heidelberg Th. 1386 dan berpredikat universitas tertua di Jerman sekaligus pusat riset terkemuka di Eropa semakin mempertegas julukan Heidelberg sebagai Kota Tua. Posisi kotanya strategis, berada di selatan Frankfurt, mudah dijangkau dan sangat populer di kalangan wisatawan asing (kecuali Indonesia, karena wisatawan kita hanya mengenal Berlin, Munich, Frankfurt dan Cologne sebagai tujuan wisata di Jerman), perjalanan kereta dari Frankfurt bisa ditempuh kurang dari 1 jam.

Tujuan utama mengunjungi kota ini tentu saja Schloss Heidelberg atau Heidelberg Castle, simbol utama kota Heidelberg, kota paling romantis di Jerman karena keberadaan kastilnya, jika kemudian saya menemukan kejutan-kejutan lain yang tak kalah indah, adalah bonus bagi perjalanan ini.
Reruntuhan kastil bergaya gothic dan renaissance ini dibangun pada abad ke 13 diatas bukit Koenigstuhl oleh Prince Rupert I (pendiri Uni Heidelberg). Memiliki sejarah sangat kompleks, pernah hancur akibat perang, dibangun lagi, hancur lagi tersambar petir, dibakar pasukan Perancis, dan diberondong meriam pasukan Swedia, kerusakan terparah terjadi saat penduduk Heidelberg berbondong-bondong mengambil batu kastil untuk membangun rumah baru. Namun berkat kerja keras seorang bangsawan dari Perancis, Charles de Graimberg berhasil menyelamatkan reruntuhan kastil dari kehancuran total dan mempromosikannya sebagai obyek wisata.

Heidelberg Castle dapat dicapai melalui 2 cara, jalan kaki mendaki bukit atau menggunakan funicular railway, saya pilih yang pertama, bukannya sok kuat, sama sekali bukan, tapi karena datang terlalu pagi, sehingga bersama turis-turis lain yang kecele karena loket funicular masih tutup kami terpaksa jalan kaki mendaki bukit terjal. Meski terengah-engah, toh akhirnya kelelahan terbayar oleh pemandangan spektakuler dari teras dan jendela kastil. Ternyata tidak sia-sia mengambil rute ini, karena langsung disuguhi panorama indah Kota Heidelberg dari atas, menikmati bentangan Alte Brücke (The Old Bridge) berdiri kokoh diatas Sungai Neckar, Altstadt (The Old Town), serta deretan rumah penduduk di bukit seberang yang tampak kecil bak mainan rumah-rumahan.

Kastil ini sungguh elok, berdiri di tengah taman luas nan asri serta dikelilingi pepohonan hijau, warnanya merah bata cenderung muda, bangunannya terdiri dari bermacam-macam gaya, setiap bangunan menunjukkan gaya arsitektur dari suatu masa tertentu, misalnya The Main Hall bergaya renaissance sedangkan The King's Hall, sekarang berfungsi sebagai tempat jamuan makan malam dan pesta pernikahan bergaya gothic. Malam hari selama musim panas digelar Festival Heidelberg berupa pertunjukan konser musik klasik, teater dan opera di halaman kastil (meski ide ini biasa bagi saya, karena pertunjukan Sendratari Ramayana di Candi Prambanan tak kalah indah). Lantas dimana romantisme itu? Adalah sore hari ketika senja perlahan turun, duduk di taman kastil sambil menyongsong senja tiba adalah suasana tak terlupakan, bahkan seorang teman yang telah terbiasa melanglang buana berpendapat tidak banyak spot di dunia ini yang bisa menandingi nuansa romantis senja hari di Heidelberg Castle.

Tiket masuk kastil sebesar 3 EUR (sekarang pasti lebih) adalah paket 3 in 1, artinya disamping reruntuhan kastil, sangat disayangkan jika melewatkan Deutsches Apothekenmuseum dan Keller. Keller (dalam bahasa Jerman) atau ruang bawah tanah adalah tempat menyimpan gentong wine, dahulu kala petani di daerah ini wajib membayar sebagian pajak mereka dalam bentuk wine kemudian disimpan dalam gentong. 

Gentong wine raksasa dari kayu berkapasitas 220.017 liter, berukuran panjang 8,5 m dan tinggi 7 m dibuat Th 1751 oleh Karl Theodor ketika harus berkompetisi dengan seorang Pangeran dari Würrtemberg, sedangkan Museum Apotek Jerman menampilkan display 20.000 benda yang menggambarkan sejarah farmasi dari masa ke masa selama 2000 tahun di Eropa.


Membentang sejauh 1,6 km di atas Sungai Neckar, memiliki 9 lengkung kokoh, dipadu dua menara (Karl's Gate) mengapit pintu gerbang bergaya barok (hingga menginspirasi J.R.R Tolkien menulis salah satu episode "The Two Towers" dalam trilogi The Lord of the Rings) demikian gambaran tentang Karl Theodor-Brücke atau Alte Brücke (The Old Bridge). Awalnya jembatan ini terbuat dari kayu sehingga sangat rentan, berulang kali dibangun akibat terbakar dan hancur oleh banjir, sampai akhirnyaTh. 1788 Karl Theodor mengganti konstruksi jembatan dari batu. Selesai? belum, Th.1945 ketika meletus PD II The Old Bridge ikut hancur, Th 1946 donasi sukarela warga membuat jembatan berhasil direnovasi kurang dari 1,5 tahun kemudian. Sembilan tahun lalu tepatnya Th. 2001 The Old Bridge dinyatakan tertutup bagi lalu lintas kendaraan, artinya hanya pesepeda dan pejalan kaki yang boleh melintas. Sekarang Old Bridge menjadi salah satu pedestrian tercantik dan terpanjang di Eropa.


Tentu saja bukan Cuma Heidelberg Castle dan Old Bridge lokasi menarik lain di Heidelberg, masih ada Altstadt (Old Town) dan Uni Heidelberg. Memasuki Altstadt suasana seperti dibawa ke masa lalu dengan nuansa kosmopolitan, jalanan sempit, meja-kursi kafe berderet, toko souvenir digelar, butik pun ada. Banyak sekali yang bisa ditemukan di Old Town, museum, gereja, sinagog, monumen, market square sampai dengan balai kota (di Jerman semua balai kota terletak di Altstadt).

Dengan gambaran kota seperti itu kiranya wisatawan Indonesia wajib memasukkan Heidelberg dalam daftar tempat wisata yang harus dikunjungi ketika berkeliling Eropa. Percayalah, meski tidak banyak menyimpan kisah romantis tetapi Heidelberg menawarkan suasana romantis yang akan terkenang sepanjang masa...