Di beberapa negara maju problematika sampah selalu mendapatkan
perhatian serius dari pemerintah. Sangat mengagumkan melihat Jepang secara cerdas mengolah sampah untuk reklamasi pantai, dimana kawasan
Odaiba akhirnya menjadi kawasan termahal di dunia dan sold out.
Sementara
itu di Eropa, Jerman menjadi pioner dalam hal daur ulang limbah.
Kementrian Lingkungan Hidup Jerman menerapkan 3 kebijakan pengelolaan
limbah dengan kontrol yang sangat ketat yaitu :
- Avoidance : menghindari limbah, proses produksi dan pengemasan harus sesuai prinsip nol limbah.
- Recovery : pemulihan, hasil limbah harus bisa didaur ulang dan diubah menjadi bahan baku bernilai dan energi.
- Disposal : pembuangan, hasil limbah yang dibuang harus ramah lingkungan.
Setiap
tahun sebanyak 70% limbah di Jerman dapat diolah dan dimanfaatkan
kembali, sebagai perbandingan Th 2007 di Amerika limbah yang dapat
diolah dan dimanfaatkan baru 33%. Sejak bersatu, pemerintah Jerman
sangat serius mengelola limbah. Melalui pendekatan baru
pemerintah menggeser tanggung jawab pengelolaan limbah kepada produsen,
industri disana wajib bertanggungjawab terhadap produk yang
dihasilkan sejak proses produksi dimulai hingga berakhirnya manfaat
produk tersebut. Pendekatan ini dinamakan Germany’s Packaging Ordinance, mulai berlaku Th. 1991, kemasan yang memasuki pasar Jerman harus memenuhi syarat :
1). Ramah lingkungan
2). Bobot dan volume kemasan seminimal mungkin
3). Bisa diisi ulang
4). Bisa didaur ulang jika tidak bisa diisi ulang
Filosofi yang mendasari Ordonansi Kemasan ini adalah ”Polluter Pays”,
ya, pencemar membayar, artinya siapapun yang menghasilkan limbah akan
dituntut bertanggung jawab mendaur ulang, mencari pasar untuk bahan
hasil daur ulang dan memikirkan pembuangannya. Dengan demikian produsen
diminta membuat konsep disain awal produk untuk menekan kemasan produk
yang boros. Strategi sederhana ini berdampak munculnya Duales System
Deutschland (DSD) yaitu produsen diijinkan mengambil kembali kemasan
produk mereka. Para DSD ini adalah perusahaan swasta yang wajib menyampaikan Laporan Kinerja Tahunan berupa data kemasan produk yang benar-benar dikumpulkan, dipilah kemudian didaur ulang kepada Kementrian Lingkungan Hidup.
Di Jerman, jika perusahaan tidak tergabung dalam der Grune Punkt mereka
harus mengumpulkan kemasan dan mendaur ulang sendiri, hal ini sangat
tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan dengan produk masal.
Sejak konsep ini diperkenalkan di Eropa beberapa negara kemudian turut
bergabung dan memakai logo der Grune Punkt pada kemasan mereka. Kini der Grune Punkt
menjadi pelopor dalam pengumpulan produk dan proses daur ulang di
Eropa, logo tersebut menjadi logo resmi jaringan industri di Eropa yang
mendaur ulang kemasan produk untuk konsumen. Bahkan model daur ulang ala
Jerman ini telah sukses diterapkan di beberapa negara anggota Uni Eropa
maupun non Uni Eropa.
Konsep Germany’s Packaging Ordinance dan der Grune Punkt Duales System Deutschland yang reliable
telah memberi dampak luas bagi masyarakat Uni Eropa serta berhasil
mempengaruhi perusahaan di seluruh dunia yang memproduksi barang tahan
lama seperti komputer dan mobil supaya memikirkan disain dan
mengevaluasi kembali penggunaan bahannya. Di Jepang, sebuah perusahaan
pembuat bir berhasil mengembangkan teknologi produksi botol kaca
berwarna yang dapat didaur ulang menjadi botol transparan.
Th. 1994 pemerintah Jerman menutup semua TPA di seluruh pelosok, alasannya disamping penuh juga tidak sesuai
dengan peraturan lingkungan hidup yang baru. Jerman tidak malu mengakui pemerintahnya mengalami krisis kemampuan membuang
limbah. Kepadatan penduduk Jerman menyebabkan pemerintah sulit
menemukan lokasi TPA yang jauh dari pusat pemukiman penduduk, hal ini melatarbelakangi mengapa pembangunan TPA sangat
ditentang. Th. 2020 pemerintah mentargetkan Jerman bersih dari
limbah perkotaan dengan cara meminimalisir penggunaan emisi gas CO2.
Jerman pantang mengekspor limbah elektronik, setiap tahun berton-ton hasil daur ulang berupa tembaga dan platina diekspor keluar Jerman. Pemerintah mengontrol ketat proses ekspor ini, eksportirpun dikenakan biaya untuk proses pembuktian bahwa barang tersebut bukan limbah.
Jerman pantang mengekspor limbah elektronik, setiap tahun berton-ton hasil daur ulang berupa tembaga dan platina diekspor keluar Jerman. Pemerintah mengontrol ketat proses ekspor ini, eksportirpun dikenakan biaya untuk proses pembuktian bahwa barang tersebut bukan limbah.
Di negara kita kegagalan
mengolah sampah sampai saat ini masih sulit dicarikan solusi.
Ketersediaan lokasi TPA hanya berfungsi sebagai tempat menimbun
sampah -tidak berkelanjutan- belum lagi dampak yang dihasilkan berupa
pencemaran lingkungan: pembusukan sampah organik, pencemaran tanah,
kerusakan infrastruktur karena akses jalan dilalui kendaraan kelas
berat, dll. Tidak perlu bermimpi seperti Jepang yang sukses mereklamasi
pantai dengan limbah, cukup belajar dari Jerman, menggeser tanggungjawab
mengelola limbah, mengontrol ketat pengelolaan limbah dan meminta
kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, syukur-syukur
jika sampah dipilah dulu sebelum dibuang.