Sebagai negara maritim dengan cakupan wilayah laut mencapai hampir 80%, Indonesia diakui secara internasional sebagai Negara Maritim yang di tetapkan dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Th. 1982. Hilangnya orientasi pembangunan maritim bangsa Indonesia semakin jauh tatkala memasuki era Orde Baru, kebijakan pembangunan nasional lebih diarahkan ke pembangunan berbasis daratan yang dikenal dengan agraris, bahkan dengan bangga Indonesia dideklarasikan sebagai Negara Agraris penghasil produk pertanian yang spektakuler. Sangat di sesalkan, dan hal inipun masih berlanjut hingga era reformasi di negeri ini. Padahal dengan cakupan yang demikian besar dan luas, tentu saja laut Indonesia mengandung keanekaragaman sumberdaya alam laut yang potensial, baik hayati dan non-hayati, wilayah wisata bahari, dan juga media transportasi antar pulau yang sangat ekonomis.
Media transportasi antar pulau yang dimaksud tentu saja
angkutan penyeberangan, bukan jembatan. Karena menurut ahli
transportasi Djoko Setijowarno, pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) akan semakin membuat Sumatera
menjadi tergantung dengan Pulau Jawa. Urbanisasi akan dengan mudah terjadi,
sehingga akan menambah kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Senada dengan Djoko, Daniel
M. Rosyid, pakar kelautan dari ITS berpendapat JSS hanya menguntungkan pemilik
dan mafia tanah di sisi Banten dan Lampung. Bahkan, pemilik tanah di Lampung
akan berganti tangan ke orang-orang Jakarta yang secara finansial jauh lebih
mampu. Penyebabnya, pendidikan dan keterampilan terbatas, para penjual tanah
di Lampung akan segera menjadi penonton di kampung halaman mereka
sendiri, atau menjadi urbanisator ataupun buruh pabrik.
Sebenarnya kemacetan berulang yang terjadi di sekitar Pelabuhan
Merak, Banten, karena sejumlah hal yakni kekurangan kapal penyeberangan dan
dermaga hingga manajemen yang kurang baik. Untuk itu, solusi yang dinilai lebih
pas adalah penambahan kapal dan darmaga. Layanan penyeberangan yang buruk saat ini adalah akibat
dari kebijakan perhubungan yang didikte oleh industri mobil sehingga
menelantarkan angkutan umum, termasuk yang berbasis rel dan penyeberangan.
JSS adalah kelanjutan dari solusi jalan dan mobil pribadi yang telah
mendominasi kebijakan transportasi nasional sejak Orde Baru, terutama dengan
bantuan Jepang. Dominasi moda jalan pribadi ini telah membunuh
angkutan umum moda transportasi rel dan sungai di Jawa maupun luar Jawa.
"JSS ini juga akan membunuh moda feri penyeberangan seperti yang telah
dilakukan oleh Jembatan Suramadu," ungkap Daniel M. Rosyid, contohnya layanan penyeberangan Ujung-Kamal sebelumnya adalah layanan yang menguntungkan
(terminal penyeberangan tipe A), tetapi saat ini operatornya harus merugi dan
disubsidi (terminal tipe C).
Daniel menambahkan, dalam perspektif geologi, air laut justru membuat
kontur dasar laut yang rumit dengan patahan dan palung menjadi rata. "Air
laut adalah jembatan alamiah, bukan bagi mobil, tapi bagi kapal. Jembatan akan
dibutuhkan jika tidak ada air laut di selat dan lainnya, untuk menghindari trace
jalan yang rumit dan berkelak-kelok," sebutnya. Belum lagi kenyataan bahwa kawasan Selat Sunda terletak pada zona peralihan tektonik
aktif antara Sumatera dan Jawa yang dikenal sebagai
salah satu kawasan rawan bencana geologi atau ring of fire di Indonesia.
Kerawanan ini ditandai dengan terjadinya bencana geologi seperti gempa bumi,
letusan guning api, tsunami, dan gerakan tanah.
Bagi Pulau Jawa dan Sumatera, yang dibutuhkan adalah prasarana transportasi
di kedua pulau tersebut, yaitu jalan tol dan double-track kereta api
lintas Sumatera dan Jawa, yang terintegrasikan ke pelabuhan-pelabuhan yang
efisien di kedua pulau tersebut. Lintasan penyeberangan antara Merak dan Bakauheni bisa
dilayani dengan sarana dermaga dan sistem feri maju generasi terakhir dengan
teknologi yang sudah terbukti jauh lebih murah dan dapat disediakan dalam waktu
yang jauh lebih singkat daripada JSS.
Tidak semua negara selalu
menggunakan simbol peradaban negaranya ke dalam bentuk bangunan konstruksi. Inggris
adalah negara yang terbentuk melalui gugus kepulauan, tapi tidak memiliki satu pun jembatan yang menghubungkan antar pulau-pulau
besar. Jembatan terpanjang di Malaysia-pun hanya berjarak kurang dari 12 km yang
menghubungkan pulau Penang dan daratan Malaysia.
Sebaiknya dana JSS sebesar Rp 117 triliun tersebut dialokasikan untuk
memperbaiki dan mengoptimalkan Jalan Lintas Timur Sumatera yang menghubungkan
antara Aceh hingga Lampung. Pengadaan infrastruktur tersebut dinilai akan mampu
mendukung pembentukan titik-titik baru sumber pertumbuhan ekonomi di Pulau
Sumatera, karena sesungguhnya propinsi-propinsi di Pulau Sumatera mampu dijadikan kawasan yang mandiri. Jika kelak mereka telah memiliki basis pertumbuhan
ekonomi yang kuat, maka tentunya akan mengurangi ketergantungan pembangunan dan
kebutuhannya dengan Pulau Jawa.
Akhirnya pemerintah harus bijak menentukan. Ingin membangun Jembatan Selat Sunda atau melihat kematian perekonomian dari kota-kota besar di Indonesia akibat kemacetan? Kota-kota kita saat ini semakin macet dan seolah nyaris tanpa solusi. Solusi JSS adalah adalah solusi yang mengingkari Deklarasi Djuanda 1957 dan pengakuan UNCLOS 1982 yang menempatkan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dengan potensi ekonomi maritim sangat besar. (dari berbagai sumber)