Monday, August 24, 2015

Ada Pengorbanan dan Cinta dalam "Battle of Surabaya"

Begitu istimewanya hari ulang tahun kemerdekaan negeri kita ke 70, ada kado istimewa berupa film animasi karya anak bangsa berjudul “Battle of Surabaya”. Penasaran setelah melihat trailernya, saya menyempatkan waktu menonton film tersebut karena terpengaruh promosi yang menyebutkan bahwa inilah film Indonesia pertama yang berkelas Hollywood. Ternyata benar, Battle of Surabaya (BoS) adalah film animasi pertama di Indonesia yang bercita rasa Hollywood dengan karakter animasi ala Jepang.  Bagi penggemar anime dan manga pasti akan familiar dengan karakter tokoh-tokoh utama fim BoS yang digambarkan dengan muka lonjong, dagu runcing, hidung mancung, mata lebar serta rambut lurus. Pembuat film dipastikan ingin menarik minat anak-anak muda Indonesia yang terbiasa melihat anime supaya tertarik menonton film sejarah, alur ceritanya pun dibuat ringan dengan tidak mengurangi esensi pertempuran 10 November di Surabaya. Sungguh film yang menarik, apalagi dengan pengisi suara aktor dan aktris berkelas seperti Reza Rahardian dan Maudy Ayunda, bahkan pengisi suara tokoh dari Jepang dan Belanda dilakukan oleh native speaker. Tidak banyak dialek Suroboyoan dalam film ini, pembuat film hanya menyisipkan beberapa kata-kata tertentu yang menjadi ciri khas Arek Suroboyo misalnya “ Juangkrik” . Menurut saya pribadi hanya sedikit kekurangan film ini, yaitu dialog antar tokoh utamanya, agak risih saja mendengar mereka berbicara dengan kalimat dan logat kekinian, kurang sesuai dengan jamannya. Tapi saya yakin, hal ini disengaja oleh si pembuat film, dengan alasan -sekali lagi- menarik minat anak-anak muda yang pasti bosan jika disuguhi film sejarah jadoel.

Film animasi yang bagus tidak sekedar memiliki gambar bagus dan cerita menarik, tapi aspek psikologisnya pun digarap dengan apik. Dengan tagline “ There is no glory in war” film ini mengajak kita mengambil hikmah bahwa perang hanya menimbulkan kehancuran, kepahitan dan kesedihan berkepanjangan. Cerita film ini adalah fiksi dengan latar belakang peristiwa 10 November di Surabaya. Adalah Musa, seorang remaja penyemir sepatu hanya ingin sekedar bertahan hidup di tengah situasi perang, namun perang telah memaksanya untuk terlibat dalam pertempuran yaitu sebagai kurir surat-surat pribadi dan rahasia bagi pejuang. Perang pula yang mengantarkannya berpetualang hingga menemui peristiwa demi peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya sendiri dan harus kehilangan orang-orang yang dicintainya.

Ending film ini terasa begitu menyentuh, lewat narasi Musa dewasa, mengalir jujur kalimat-kalimat yang menggambarkan betapa kejamnya perang. Andai saja tidak ada perang, Musa mungkin masih bersama Ibu serta sahabat-sahabatnya Yumna dan Danu. Keberanian, kekuatan, pengorbanan, cinta dan pengkhianatan adalah beberapa aspek psikologis yang berusaha dihadirkan pembuat film Battle of Surabaya. Film ini layak ditonton semua kalangan, bahkan sebaiknya anak sekolah diwajibkan menonton bersama kemudian diberi tugas untuk menceritakan kembali dan menyebutkan pahlawan serta tokoh yang berperan dalam pertempuran 10 November tersebut. Sebagai warga Jogja, tentu saja saya bangga karena film animasi berkelas Hollywood ini dihasilkan oleh animator lokal dari PTS di Jogja yang bekerja secara profesional hingga menghasilkan film animasi bertaraf internasional. Jika kelak Walt Disney benar-benar memasarkan film ini dalam jaringan bisnisnya, penghargaan dunia yang diperoleh Battle of Surabaya pasti bertambah…

Satu lagi, mendengarkan OST Battle of Surabaya yang berjudul “Mengingatmu” serasa ikut merasakan kepedihan sang tokoh utama… “Semua tak mampu terucap, hanya dari hati, kusimpan untukmu…”